Mengubah Paradigma Pola Pikir ASN dalam Menyongsong Budaya Digital
Terkait
Menghadapi Tantangan Global Megatrend 2050, Diperlukan Cara Menyiapkan Tenaga Terampil di Masa Depan
329 Peserta Lulus SKD dan Berhak Mengikuti SKB
678 PPPK ikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Nilai dan Etika pada Instansi Pemerintah
BKPSMD Turut Partisipasi Bersih Pantai Sodong Dalam Rangka Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat
Kerja Bakti Bareng Masyarakat, Wujud Cinta BKPSDM terhadap Lingkungan
Budaya digital merupakan suatu fenomena pada proses kehidupan yang memang dirasakan pada masa sekarang ini oleh berbagai pihak termasuk ASN. Budaya digital yang terbentuk karena adanya berbagai produk dan proses dunia digital bermunculan di sekitar kita dengan karakteristiknya masing-masing. Namun permasalahan mendasar yang masih dihadapi ASN dalam tantangan budaya digital adalah bagaimana kesiapan pola pikir ASN dalam menyongsong budaya digital di sekitarnya, terutama terkait pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini dapat kita kaitkan dengan Kurva Adopsi Inovasi yang dikembangkan pada tahun 1962 oleh E.M. Rogers. Kurva berbentuk lonceng tersebut menunjukkan lima kelompok yaitu inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan lamban. Kita dapat melihat sisi pola pikir utama yang melekat pada lima kelompok tersebut dalam menerima dan menyerap hal baru. Inovator umumnya adalah orang-orang yang menunjukkan sifat berani dan “out of the box”. Pengadopsi awal umumnya adalah orang-orang yang siap menerima. Tipe mayoritas awal adalah orang-orang yang memiliki pertimbangan panjang dan hati-hati. Selanjutnya, tipe mayoritas akhir adalah orang-orang yang memiliki pemikiran skeptis. Terakhir, tipe lamban adalah yang masih tradisional dan resisten terhadap perubahan.
Tantangan yang terjadi bila kita melihat konsep Kurva Adopsi Inovasi adalah bagaimana mengubah pola pikir tipe mayoritas akhir dan tipe lamban agar dapat berpindah pada ranah tipe pola pikir inovator, pengadopsi awal, atau setidaknya menjadi pola pikir mayoritas awal. Tentunya tidak mudah karena perubahan pola pikir ini tentunya dipengaruhi beberapa aspek seperti motivasi, lingkungan, dan infrastruktur pendukung. Aspek motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan dan keinginan seseorang dalam menggunakan sumber daya digital yang ada di sekitarnya. Bila seseorang tidak memiliki kebutuhan bahkan keinginan untuk belajar menggunakan sumber daya digital yang ada, maka mustahil perubahan pola pikir digital dapat terjadi. Bila seseorang merasa butuh bahkan ingin menggunakan sumber daya digital maka secara tidak langsung akan menumbuhkan motivasi pembelajaran yang ada dalam dirinya sehingga perubahan pola pikir digital dapat terjadi. Aspek lingkungan juga menentukan perubahan pola pikir digital seseorang. Bila lingkungannya tidak kondusif terkadang hal tersebut akan mempengaruhi bahkan menurunkan motivasi seseorang juga dalam menggunakan sumber daya digital yang ada. Seseorang juga tidak harus menunggu lingkungannya untuk berubah karena dirinya sendiri bisa menjadi agen perubahan dalam menggunakan dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya digital yang bermanfaat untuk dirinya dan lingkungan sekitarnya. Seseorang yang menjadi agen perubahan tersebut bisa menjadi digital mindset-driver (penggerak pola pikir digital) di lingkungannya sehingga prosesnya tidak harus dilakukan dalam kerangka digital mindset-driven (pola pikir digital yang digerakkan). Infrastruktur pendukung untuk perubahan pola pikir digital adalah ketersediaan serta kemampuan perangkat yang dipakai dan bagaimana jaringan internet yang ada di lingkungannya. Infrastruktur pendukung tentunya terus diperbaiki dan ditingkatkan oleh pemerintah dan berbagai stakeholder yang berperan sebagai support system dari perubahan pola pikir digital yang diharapkan.
Kondisi saat ini bisa kita rasakan berbeda dengan kondisi beberapa tahun sebelumnya. Kita dapat menjumpai banyak platform, sistem, aplikasi, program dan media lainnya yang bisa kita gunakan untuk meningkatkan produktivitas dalam pekerjaan, membantu melakukan aktivitas harian, dan meningkatkan kualitas hidup. Sumber daya digital tersebut juga akan terus berkembang dan berubah produk dan proses baru juga akan terus bermunculan di sekitar kita. Seorang ASN tentunya dapat mewujudkan konsep Smart ASN dimulai dengan menumbuhkan motivasi dari dalam diri sendiri terlebih dahulu, berusaha menjadi digital-mindset driver untuk lingkungan, dan memanfaatkan infrastruktur pendukung yang ada seoptimal mungkin. Saat ini kita ketahui bahwa ASN dituntut untuk membentuk tata kelola pemerintahan yang cerdas dengan dimensi pelayanan publik, birokrasi, dan kebijakan publik. Apabila sebagian besar ASN dapat mengubah pola pikir digitalnya menjadi tipe inovator, pengadopsi awal atau setidaknya pada mayoritas awal maka dapat membantu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang cerdas dengan menggunakan sumber daya digital dalam bentuk produk maupun proses yang inovatif.
Fenomena ini dapat kita kaitkan dengan Kurva Adopsi Inovasi yang dikembangkan pada tahun 1962 oleh E.M. Rogers. Kurva berbentuk lonceng tersebut menunjukkan lima kelompok yaitu inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan lamban. Kita dapat melihat sisi pola pikir utama yang melekat pada lima kelompok tersebut dalam menerima dan menyerap hal baru. Inovator umumnya adalah orang-orang yang menunjukkan sifat berani dan “out of the box”. Pengadopsi awal umumnya adalah orang-orang yang siap menerima. Tipe mayoritas awal adalah orang-orang yang memiliki pertimbangan panjang dan hati-hati. Selanjutnya, tipe mayoritas akhir adalah orang-orang yang memiliki pemikiran skeptis. Terakhir, tipe lamban adalah yang masih tradisional dan resisten terhadap perubahan.
Tantangan yang terjadi bila kita melihat konsep Kurva Adopsi Inovasi adalah bagaimana mengubah pola pikir tipe mayoritas akhir dan tipe lamban agar dapat berpindah pada ranah tipe pola pikir inovator, pengadopsi awal, atau setidaknya menjadi pola pikir mayoritas awal. Tentunya tidak mudah karena perubahan pola pikir ini tentunya dipengaruhi beberapa aspek seperti motivasi, lingkungan, dan infrastruktur pendukung. Aspek motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan dan keinginan seseorang dalam menggunakan sumber daya digital yang ada di sekitarnya. Bila seseorang tidak memiliki kebutuhan bahkan keinginan untuk belajar menggunakan sumber daya digital yang ada, maka mustahil perubahan pola pikir digital dapat terjadi. Bila seseorang merasa butuh bahkan ingin menggunakan sumber daya digital maka secara tidak langsung akan menumbuhkan motivasi pembelajaran yang ada dalam dirinya sehingga perubahan pola pikir digital dapat terjadi. Aspek lingkungan juga menentukan perubahan pola pikir digital seseorang. Bila lingkungannya tidak kondusif terkadang hal tersebut akan mempengaruhi bahkan menurunkan motivasi seseorang juga dalam menggunakan sumber daya digital yang ada. Seseorang juga tidak harus menunggu lingkungannya untuk berubah karena dirinya sendiri bisa menjadi agen perubahan dalam menggunakan dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya digital yang bermanfaat untuk dirinya dan lingkungan sekitarnya. Seseorang yang menjadi agen perubahan tersebut bisa menjadi digital mindset-driver (penggerak pola pikir digital) di lingkungannya sehingga prosesnya tidak harus dilakukan dalam kerangka digital mindset-driven (pola pikir digital yang digerakkan). Infrastruktur pendukung untuk perubahan pola pikir digital adalah ketersediaan serta kemampuan perangkat yang dipakai dan bagaimana jaringan internet yang ada di lingkungannya. Infrastruktur pendukung tentunya terus diperbaiki dan ditingkatkan oleh pemerintah dan berbagai stakeholder yang berperan sebagai support system dari perubahan pola pikir digital yang diharapkan.
Kondisi saat ini bisa kita rasakan berbeda dengan kondisi beberapa tahun sebelumnya. Kita dapat menjumpai banyak platform, sistem, aplikasi, program dan media lainnya yang bisa kita gunakan untuk meningkatkan produktivitas dalam pekerjaan, membantu melakukan aktivitas harian, dan meningkatkan kualitas hidup. Sumber daya digital tersebut juga akan terus berkembang dan berubah produk dan proses baru juga akan terus bermunculan di sekitar kita. Seorang ASN tentunya dapat mewujudkan konsep Smart ASN dimulai dengan menumbuhkan motivasi dari dalam diri sendiri terlebih dahulu, berusaha menjadi digital-mindset driver untuk lingkungan, dan memanfaatkan infrastruktur pendukung yang ada seoptimal mungkin. Saat ini kita ketahui bahwa ASN dituntut untuk membentuk tata kelola pemerintahan yang cerdas dengan dimensi pelayanan publik, birokrasi, dan kebijakan publik. Apabila sebagian besar ASN dapat mengubah pola pikir digitalnya menjadi tipe inovator, pengadopsi awal atau setidaknya pada mayoritas awal maka dapat membantu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang cerdas dengan menggunakan sumber daya digital dalam bentuk produk maupun proses yang inovatif.